TAWURAN ANTAR PELAJAR

Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran sering terjadi diantara pelajar. Namun, mengapa tawuran antar pelajar ini merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh masyarakat di Indonesia?. Bahkan ada sebuah pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yangmenginjak usia remaja. Tawuran antar pelajar sering terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tawuran antar pelajar yaitu:
1.      Tawuran antar pelajar bisa saja terjadi karena ketersinggungan salah satu kawannya.
Mungkin dari kita pernah mendengar tawuran antar pelajar yang yang dipicu karena ketersinggungan seorang siswa yang tersenggol oleh pelajar sekolah lain saat berpapasan di terminal, atau masalah kompleks lainnya. Misalkan, permasalahan pribadi, rebutan perempuan, dipalak, dan lain sebagainya.
2.      Permasalahan yang sudah mengakar, dalam arti sejarah yang menyebabkan pelajar-pelajar dua sekolah saling bermusuhan.
Terkadang permasalahan tawuran antar pelajar dipicu pula dengan adanya sejarah permusuhan yang sudah ada dari generasi sebelumnya dengan sekolah lain, beredarnya cerita-cerita yang menyesatkan, bahkan memunculkan mitos berlebihan yang membuat generasi berikutnya terpicu melakukan hal yang sama.
3.      Jiwa premanisme yang tumbuh dalam jiwa pelajar.
Premanisme bukan istilah yang asing lagi kita dengar. Mereka cenderung memiliki sifat dengan memakai kekerasan fisik dalam menyelesaikan masalahnya. Mereka mengukur kemenangannya karena kekuatan fisiknya, bukan intelektualitasnya. Padahal, premanisme bertolak belakang dengan jiwa seorang pelajar, yang dituntut kecerdasan berpikir, kecerdasan menglola emosi, dan lain-lain.
4.      Faktor diri remaja itu sendiri.
Faktor ini terjadi didalam diri individu itu sendiri yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan di sekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari luar. Remaja yang melakukan perkelahian biasanya tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan yang kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keanekaragaman pandangan ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tetapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanay mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah.
5.      Faktor keluarga.
Keluarga merupakan tempat dimana pendidikan pertama dari orang tua diterapkan. Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan dalam keuarganya maka setelah ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa melakukan kekerasan karena inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya.
6.      Faktor sekolah.
Sekolah pertama-tama buka dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya itu. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dan sebagainya) akan menyebabkan siswaya lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya.
7.      Faktor lingkungan.
Lingungan baik rumah maupun sekolah dapat mempengaruhi perilaku remaja, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian.
Tawuran antar pelajar akhir-akhir ini semakin memprihatinkan, ratusan nyawa pun telah melayang dengan sia-sia. Sekitar beberapa minggu yang lalu dikabarkan terjadi tawuran antar pelajar SMAN 70 DAN SMAN 6 Jakarta adalah tawuran pelajar yang paling tragis, dimana hingga menewaskan 1 orang siswa, ironis nya lagi si pelaku tidak menyesali perbuatannya, justru ia merasa puas dan merasa dendamnya telah terbayar, Astagfirullahalajim, apa yang menbuat pelajar indonesia selalu membudayakan tawuran, bersikap anarkis dan premanisme seakan ingin menunjukan jati diri mereka, tentu bukanlah seperti itu,  seorang pelajar seharusnya menunjukan prestasinya di sekolah maupun di luar sekolah.
Semua itu bisa disebabkan dengan pengaruh lingkungan disekitar tempat mereka tinggal, dan juga tingkat setres mereka disekolah yang sudah menggunung karena berbagai pelajaran yang menurut mereka tidak bermanfaat dan belum patut di pelajari untuk mereka, sehingga mereka frustasi dan melampiaskannya dengan hal-hal yang negative. Menteri pendidikan pun bergegas membenahi sistem pendidikan, Melalui perubahan kurikulum yang menguatkan aspek pembentukan karakter siswa yang cerdas intelektual, cerdas emosional dan cerdas spiritual. Bukan hanya bertujuan mengejar nilai semata.
Namun saya rasa semua itu belum efektif tanpa adanya pengawasan dari orang tua, dan ketegasan dari seorang guru kepada muridnya agar lebih meningkatkan berbagai kegiatan di luar jam sekolah, berbeda lagi jika karakter siswa yang memang sulit untuk di ajak kompromi, yang hidupnya tidak mau diatur oleh orang lain, ini berarti orang tualah yang harus berperan banyak dalam mengawasi anaknya.
         Berdasarkan survei yang saya lakukan ternyata para pelajar melakukan tindakan anarkis yang dituangkan dalam tawuran itu, karena mereka masih muda, maka tingkat emosionalnya belum bisa dikendalikan, dan hanya sekedar mencari jati diri mereka yang sesungguhnya. Maka dari itu kita sebagai enerasi penerus bangsa harus bertindak tegas dalam menangani tawuran antar pelajar di indonesia.
Yang harus kita lakukan adalah terutama bagi sekolah dan pemerintah buatlah sekolah yang menyenangkan bagi muridnya karena Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di jalan-jalan dari pada mengikuti pelajaran di sekolah.
Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa Mempengaruhi manusia lain.
Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan” musuh. Tolak ukur seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai seragam sekolah “lawan” harus di musuhi.
Seragam sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan identitas kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan seragam.
Itulah beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha tersebut telah diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan terus berusaha dan tak kenal menyerah.


Sumber :


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Pandangan Masyarakat Tentang Profesi Bisnis

Adjustment Letter

Contoh Order Letter